Pelabuhan Tanjung Priok dibangun karena sejak pertengahan
1630-an lumpur yang mengendap di muara Ciliwung merupakan problem bagi
kapal-kapal untuk berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa. Lumpur makin menumpuk
ketika terjadi gempa bumi 1699. Saat Terusan Suez dibuka dan hubungan laut
makin ramai, Sunda Kelapa sudah tidak lagi dapat menampung kapal-kapal uap yang
bobotnya jauh lebih besar untuk sandar. Maka dipilihlah Tanjung Priok yang
lokasinya 9 km dari Sunda Kelapa. Ketika hendak dibangun, banyak para pengusaha
dengan keras menentangnya. Mereka khawatir perusahaan yang banyak terdapat di
sekitar Kali Besar bila gulung tikar bila pelabuhan baru dikembangkan. Tapi
kekhawatiran ini tidak perlu setelah merebak isu Tanjung Priok sarang malaria
dan kawasan tidak sehat.
Untuk memperlancar arus barang dari perusahaan-perusahaan
yang berkantor di Kali Besar dengan komplek pelabuhan maka dibuatlah terusan
(Ancol) yang dapat dilayani kapal kecil dan perahu pengangkut komoditas
ekspor-impor dengan jalan kereta listrik dua jalur. Akibat hubungan arus barang
yang lancar hingga mereka tidak perlu memindahkan kantornya ke Priok. Rupanya
ketika itu pungli belum separah sekarang ini hingga segalanya berjalan lancar.
Sejak Indonesia merdeka, di Priok dan pelabuhan lainnya dikenal istilah 'biaya
siluman'. Tidak heran beberapa waktu lalu ribuan sopir demo karena sudah tidak
tahan lagi merajalelanya pungli. Sementara para penyelundup bermaim 'mata'
dengan berbagai aparat tanpa mengenal malu menilep uang rakyat.
Saat diresmikan, semula Priok dianggap dapat menampung
semua kapal dari berbagai negera, terutama dari Eropa yang makin marak
berdatangan ke Hindia Belanda. Ternyata tidak cukup besar hingga perlu
dilakukan pelebaran. Pelebaran dan perluasan pertama dilakukan selama tujuh
tahun (1910-1917). Seperti raksasa tak pernah kenyang pelebaran terus dilakukan
di Priok. Jadilah ia sebagai pelabuhan terbesar di negeri ini. Dan, Priok pun
makin makin banyak didatangi mereka yang ingin mengadu nasib. Dengan
meningkatnya pelayaran maka dibangunlah KPM (Koninklijke Paketvaard
Maatchappij) yang sejak 1891 merupakan perusahaan pelayaran terbesar di Hindia
Belanda. Dengan ratusan armada modernnya, KPM dapat menjangkau seluruh
pelabuhan di Indonesia. Yang kini menjadi tersendat-sendat setelah diambil alih
dan dinasionalisasi Pelni pada 1957.
Pada 6 April 1925 dibuka stasiun baru dari Meester
Cornelis (Jatinegara)-Tanjung Priok. Merupakan stasiun KA utama yang monumental
dengan 8 jalur. Bangunannya bertumpu pada ratusan tiang pancang, memiliki atap
penutup dari beton, mirip stasiun KA Amsterdam. Pada masa itu (dan mungkin
sekarang ini), saat pembukaannya dilakukan selamatan untuk seluruh karyawan dan
pekerja yang terlibat dalam pembangunan. Dua kepala kerbau ditanam di kedua
sisi stasiun. Hal yang sama juga terjadi saat pembangunan stasiun Beos (Jakarta
Kota). Kala itu masyarakat yakin bahwa tiap pembangunan proyek besar harus ada
tumbal, yakni menanam kepala kerbau. Untuk mencegah jangan sampai nantinya
proyek tersebut meminta korban.
Tanjung Priok di zaman Belanda adalah pelabuhan yang
tertata rapi, asri dan bebas banjir, kata Ny Ashari (75 tahun) yang selama
puluhan tahun tinggal di Priok. Salah satu keindahan adalah perahu-perahu milik
perkumpulan Yachlt Club yang sampai tertambat berjejer di dermaga. Yacht Club
yang pernah berjaya adalah perkumpulan pecinta lautan yang didirikan sejumlah
warga Belanda. Yachlt Club sebuah gedung cukup megah di tepi pantai, sampai
1970-an menjadi salah satu tempat hiburan paling banyak didatangi. Kita dapat
menyantap hidangan laut sambil menikmati deburan ombak. Satu lagi tempat
hiburan di Priok adalah Pantai Zandvoord (orang menyebutnya Sampur). Pantainya
yang bening dan belum kena polusi, di hari-hari liburan banyak dikunjungi
masyarakat. Mereka yang tinggal agak jauh datang dengan naik kereta api.
Letaknya sekitar 3 km dari Taman Impian Jaya Ancol, yang kala itu masih jadi
tempat monyet.
Sumber:
id.wikipedia.org/wiki/Pelabuhan_Indonesia_III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar